Saturday, 30 June 2012

Resensi Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah


Resensi : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Karya : Tere-Liye
Tebal Buku : 507 halaman
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2012

Mari berbicara tentang cinta, tentang kesederhanaan cinta, tentang indahnya cinta, tentang syahdunya cinta, semua.. hingga kau tidak tahu lagi, apa sebenarnya sifat cinta?
Menyakitkankah? Membahagiakankah? Rumitkah? Sederhanakah?
Semua.. Mari bicara tentang cinta,
Kali ini tentang cinta antara seorang pemuda berhati lurus sepanjang tepian Kapuas pada pujaan hatinya, gadis dengan wajah sendu menawan.
Kisah cinta yang jujur, klasik, dan terangkum dengan sederhana, namun tetap mampu menghanyutkan jiwa, yang seketika membuat pembaca terenyuh akan cerita cinta ini.
Tere-Liye, kembali mengulik hal-hal sederhana dalam hidup yang seringkali luput dari perhatian banyak orang. Tentang kehidupan para pengemudi sepit, juragan kelontong, pemilik warung makan, hingga seorang bujang yang lantang-luntung mencari pekerjaan pasti.
Memang, boleh jadi bujang bernama Borno tersebut tidak mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap, namun mengenai kelurusan hatinya, jangan pernah diragukan. Ia adalah seseorang yang mengutamakan kerendahan hati dan budi pekerti luhur dalam tiap hal yang ia lakukan. Seorang pemuda sederhana dengan semangat cinta yang luar biasa.
***



Borno, pemuda yatim yang berasal dari Pontianak sedang hilir-mudik mencari pekerjaan. Selalu saja ada yang salah atas pekerjaan yang ia dapat. Entah tempatnya, entah pendapat para tetangganya yang tidak suka dengan pekerjaan yang ia lakukan, atau apalah. Bukan karena tidak halal, sama sekali bukan, namun pekerjaannya tersebut mampu membuka luka lama warga Pontianak atas kejamnya peristiwa masa lalu yang dampaknya masih mereka rasakan sampai saat ini. Maka, disebutlah Borno sebagai pengkhianat para pengemudi sepit. Borno pun mencari pekerjaan lain, hingga akhirnya ia menjadi pengemudi sepit, sama seperti yang lainnya. Dari profesinya itulah, ia menemukan rasa yang lain, rasa yang baru, rasa yang menggelitik jiwanya, rasa yang membuatnya mati kutu, rasa yang hanya dapat membuatnya gelagapan, rasa yang akhirnya ia tahu, bernama cinta, cinta pada seorang wanita dewasa. Rasa itu sungguh beda dengan rasa cintanya pada ibunya, rasa itu seringkali mengusik harinya, mengusik diamnya, dan lamunannya. Rasa yang sungguh-sungguh baru baginya. Aduhai ibu, dari manakah datangnya rasa ini?
            Seorang gadis dengan wajah cina peranakan, dengan tatapan mata dan senyuman yang teduh dan menawan telah memikat hati pemuda itu, pemuda berhati lurus sepanjang tepian Kapuas. Pertama kali, saat gadis itu menaiki sepit Borno, ia meninggalkan sepucuk angpau merah, yang pada hari-hari berikutnya Borno sibuk mencari gadis itu untuk mengembalikan angpau miliknya, karena yang Borno tahu, angpau tersebut tertinggal dan berharga bagi gadis tersebut. Namun sayang beberapa hari selanjutnya Borno justru melihat gadis itu membagikan angpau merah ke seluruh pemuda sepit di tepian Kapuas, kecewalah Borno, lantas belum sempat ia bertanya, gadis itu sudah menyapanya duluan. Seketika Borno hanya membeku. Hari-hari selanjutnya, yang Borno tahu hanyalah aktivitas gadis itu, yang datang tiap pukul 7.15, dengan pakaian rapi, lengkap dengan payung dan buku yang tersampir di pundaknya. Wajah itu, wajah yang sendu menawan, yang membuatnya hanya bisa diam, sesekali mencuri pandang, dan dada berdegup kencang, sehingga belum pernahlah ia menyapa gadis itu, apalagi mengajak berkenalan, yang ia tahu, memandang wajahnya, dan bersama dirinya walau hanya selama 7 menit, telah membuatnya merasa senang, dan ya Borno memang menganggap angpau itu hanyalah angpau biasa, tidak istimewa, meski datang dari gadis itu, dan tak sekalipun ia mencoba membukanya.
            Suatu waktu, Pak Tua, salah satu tokoh dalam cerita ini, yang selalu mampu menenangkan hati Borno dan menjadi tempat ia mencurahkan segala hal yang ia temui serta rasakan dalam hidup, bertutur mengenai perasaan dan cinta. Betapa berharganya perasaan itu, dan betapa indahnya cinta itu. Sungguh benar bahwa cinta adalah perasaan yang definisinya sungguh terlampau banyak. Dunia ini memiliki banyak sekali jumlah penduduk, dan masing-masing dari mereka mencari cinta, namun definisi, cerita, dan pengalama yang mereka rasakan berbeda-beda. Betapa kayanya dan luasnya cinta itu.
Mengutip salah satu perkataan Pak Tua mengenai perasaan:
“Kau tahu Borno, perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit, kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia sedang mendung, dan berikutnya, mengubah hatimu jadi buram, padahal dunia sedang terang benderang..”
            Berkali Borno bertanya pada dirinya sendiri tentang hal yang ia rasa pada gadis sendu menawan itu, Apa? Rasa apa ini? Lalu, setelah ia menemukan jawabannya, bahwa itu adalah rasa cinta, lantas apa itu cinta? dari mana cinta datang? dan bagaimanakah cinta itu?
Maka dengan bijak, Pak Tua menjawab pertanyaannya,
“Ya, cinta itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari meskipun musiknya terlah lama berhenti..”
Lantas menyinggung mengenai cinta sejati, Pak Tua kembali menjelaskan,
“Kalian tahu, cinta sejati laksana sungai besar. Mengalir terus ke hilir tidak pernah berhenti, semakin lama, semakin besar sungainya, karena semaikn banyak anak sungai perasaan yang bertemu..”
“Cinta sejati adalah perjalanan Andi. Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung, tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan, turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu siklus tak pernah berhenti, begitu pula cinta..”
“.. cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong”.
Mengenai cinta, Pak Tua juga memberi penjelasan bahwa setiap orang memiliki keistimewaan cinta serta jalan cinta yang mereka miliki, sehingga ketika Borno menanyakan kalimat bijak untuk cintanya kelak, Pak Tua pun menolak memberi tahu, menurutnya, biarlah Borno merangkai kata atas perjalanan cintanya sendiri, sebab pada orang yang bekerja keras, penuh tanggung jawab, dan berhati lurus seperti Borno, tentunya akan menemukan definisi cinta yang tidak kalah menakjubkan dari definisi-definisi hebat tentang cinta-cinta yang lain.
Berbicara mengenai cinta, Tere-Liye kali ini memang menyuguhkan sebuah cerita cinta yang sarat akan kata-kata yang mampu menjelma menjadi renungan bagi para pembacanya, membuat para pembacanya mengenal dan memahami cerita cinta seperti apa yang telah ia miliki, maupun yang ia miliki kelak. Sangat orisinal, serta menggelitik.
Mengenai latar cerita ini pun tak kalah menarik, Tere-Liye mampu mendeskripsikan keindahan Kapuas dengan sederhana, namun terlihat sangat megah. Kemegahan dari kesederhanaan yang dituangkan Tere-Liye dalam tulisannya, menjadikan latar cerita ini sangat unik dan menarik. Tere-Liye juga mengangkat hal-hal yang dianggap tabu atau dapat memicu konflik bila diceritakan, menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan dan diperbincangkan. Seperti urutan antrian nomor 13, lalu konflik antara Indonesia-Malaysia, hingga sekilas mengenai kehidupan Suku Dayak, dalam kisah cinta Bang Togar dan Kak Unai. Semua dibahas secara sederhana namun tetap menyentil. Seolah sindiran atas mitos sial pada angka 13, atau hubungan Indonesia-Malaysia yang dianggap selalu buruk.
Singkat kata, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere-Liye ini, bercerita bagai cambuk.. Ketika hal-hal klasik dan sederhana yang seringkali luput dan dilupakan, menjadi sentilan yang luar biasa, bagi kita, para penghuni dunia, pelaku kehidupan.
Sangat istimewa dan beda.

Resensi dibuat oleh: Meranita Talentsa Ayu S

No comments:

Post a Comment