Resensi : Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah
Karya : Tere-Liye
Tebal Buku : 507 halaman
Penerbit: PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2012
Mari berbicara tentang cinta, tentang kesederhanaan
cinta, tentang indahnya cinta, tentang syahdunya cinta, semua.. hingga kau
tidak tahu lagi, apa sebenarnya sifat
cinta?
Menyakitkankah? Membahagiakankah? Rumitkah?
Sederhanakah?
Semua.. Mari bicara tentang cinta,
Kali ini tentang cinta antara seorang pemuda berhati
lurus sepanjang tepian Kapuas pada pujaan hatinya, gadis dengan wajah sendu menawan.
Kisah cinta yang jujur, klasik, dan terangkum dengan
sederhana, namun tetap mampu menghanyutkan jiwa, yang seketika membuat pembaca
terenyuh akan cerita cinta ini.
Tere-Liye, kembali mengulik hal-hal sederhana dalam
hidup yang seringkali luput dari perhatian banyak orang. Tentang kehidupan para
pengemudi sepit, juragan kelontong, pemilik warung makan, hingga seorang bujang
yang lantang-luntung mencari pekerjaan pasti.
Memang, boleh jadi bujang bernama Borno tersebut tidak
mempunyai pekerjaan dan penghasilan tetap, namun mengenai kelurusan hatinya,
jangan pernah diragukan. Ia adalah seseorang yang mengutamakan kerendahan hati
dan budi pekerti luhur dalam tiap hal yang ia lakukan. Seorang pemuda sederhana
dengan semangat cinta yang luar biasa.
***
Borno, pemuda yatim yang berasal dari Pontianak sedang
hilir-mudik mencari pekerjaan. Selalu saja ada yang salah atas pekerjaan yang
ia dapat. Entah tempatnya, entah pendapat para tetangganya yang tidak suka
dengan pekerjaan yang ia lakukan, atau apalah. Bukan karena tidak halal, sama
sekali bukan, namun pekerjaannya tersebut mampu membuka luka lama warga
Pontianak atas kejamnya peristiwa masa lalu yang dampaknya masih mereka rasakan
sampai saat ini. Maka, disebutlah Borno sebagai pengkhianat para pengemudi
sepit. Borno pun mencari pekerjaan lain, hingga akhirnya ia menjadi pengemudi
sepit, sama seperti yang lainnya. Dari profesinya itulah, ia menemukan rasa
yang lain, rasa yang baru, rasa yang menggelitik jiwanya, rasa yang membuatnya
mati kutu, rasa yang hanya dapat membuatnya gelagapan, rasa yang akhirnya ia
tahu, bernama cinta, cinta pada seorang
wanita dewasa. Rasa itu sungguh beda dengan rasa cintanya pada ibunya, rasa
itu seringkali mengusik harinya, mengusik diamnya, dan lamunannya. Rasa yang
sungguh-sungguh baru baginya. Aduhai ibu, dari manakah datangnya rasa ini?
Seorang
gadis dengan wajah cina peranakan, dengan tatapan mata dan senyuman yang teduh
dan menawan telah memikat hati pemuda itu, pemuda
berhati lurus sepanjang tepian Kapuas. Pertama kali, saat gadis itu menaiki
sepit Borno, ia meninggalkan sepucuk angpau merah, yang pada hari-hari
berikutnya Borno sibuk mencari gadis itu untuk mengembalikan angpau miliknya,
karena yang Borno tahu, angpau tersebut tertinggal dan berharga bagi gadis
tersebut. Namun sayang beberapa hari selanjutnya Borno justru melihat gadis itu
membagikan angpau merah ke seluruh pemuda sepit di tepian Kapuas, kecewalah
Borno, lantas belum sempat ia bertanya, gadis itu sudah menyapanya duluan. Seketika
Borno hanya membeku. Hari-hari selanjutnya, yang Borno tahu hanyalah aktivitas
gadis itu, yang datang tiap pukul 7.15, dengan pakaian rapi, lengkap dengan
payung dan buku yang tersampir di pundaknya. Wajah itu, wajah yang sendu
menawan, yang membuatnya hanya bisa diam, sesekali mencuri pandang, dan dada
berdegup kencang, sehingga belum pernahlah ia menyapa gadis itu, apalagi
mengajak berkenalan, yang ia tahu, memandang wajahnya, dan bersama dirinya
walau hanya selama 7 menit, telah membuatnya merasa senang, dan ya Borno memang
menganggap angpau itu hanyalah angpau biasa, tidak istimewa, meski datang dari gadis itu, dan tak sekalipun ia
mencoba membukanya.
Suatu
waktu, Pak Tua, salah satu tokoh dalam cerita ini, yang selalu mampu
menenangkan hati Borno dan menjadi tempat ia mencurahkan segala hal yang ia
temui serta rasakan dalam hidup, bertutur mengenai perasaan dan cinta. Betapa
berharganya perasaan itu, dan betapa indahnya cinta itu. Sungguh benar bahwa cinta
adalah perasaan yang definisinya sungguh terlampau banyak. Dunia ini memiliki
banyak sekali jumlah penduduk, dan masing-masing dari mereka mencari cinta,
namun definisi, cerita, dan pengalama yang mereka rasakan berbeda-beda. Betapa
kayanya dan luasnya cinta itu.
Mengutip salah satu perkataan Pak Tua mengenai perasaan:
“Kau
tahu Borno, perasaan adalah perasaan, meski secuil, walau setitik hitam di
tengah lapangan putih luas, dia bisa membuat seluruh tubuh jadi sakit,
kehilangan selera makan, kehilangan semangat. Hebat sekali benda bernama
perasaan itu. Dia bisa membuat harimu berubah cerah dalam sekejap padahal dunia
sedang mendung, dan berikutnya, mengubah hatimu jadi buram, padahal dunia
sedang terang benderang..”
Berkali
Borno bertanya pada dirinya sendiri tentang hal yang ia rasa pada gadis sendu
menawan itu, Apa? Rasa apa ini? Lalu,
setelah ia menemukan jawabannya, bahwa itu adalah rasa cinta, lantas apa itu cinta? dari mana cinta datang? dan
bagaimanakah cinta itu?
Maka dengan bijak, Pak Tua menjawab pertanyaannya,
“Ya, cinta
itu macam musik yang indah. Bedanya, cinta sejati akan membuatmu tetap menari
meskipun musiknya terlah lama berhenti..”
Lantas menyinggung mengenai cinta sejati, Pak Tua
kembali menjelaskan,
“Kalian
tahu, cinta sejati laksana sungai besar. Mengalir terus ke hilir tidak pernah
berhenti, semakin lama, semakin besar sungainya, karena semaikn banyak anak
sungai perasaan yang bertemu..”
“Cinta
sejati adalah perjalanan Andi. Cinta sejati tidak pernah memiliki ujung,
tujuan, apalagi hanya sekedar muara. Air di laut akan menguap, menjadi hujan,
turun di gunung-gunung tinggi, kembali menjadi ribuan anak sungai, menjadi
ribuan sungai perasaan, lantas menyatu menjadi Kapuas. Itu
siklus tak pernah berhenti, begitu pula cinta..”
“..
cinta adalah perbuatan. Kata-kata dan tulisan indah hanyalah omong kosong”.
Mengenai cinta, Pak Tua juga memberi penjelasan bahwa
setiap orang memiliki keistimewaan cinta serta jalan cinta yang mereka miliki,
sehingga ketika Borno menanyakan kalimat bijak untuk cintanya kelak, Pak Tua
pun menolak memberi tahu, menurutnya, biarlah Borno merangkai kata atas
perjalanan cintanya sendiri, sebab pada orang yang bekerja keras, penuh
tanggung jawab, dan berhati lurus seperti Borno, tentunya akan menemukan
definisi cinta yang tidak kalah menakjubkan dari definisi-definisi hebat
tentang cinta-cinta yang lain.
Berbicara mengenai cinta, Tere-Liye kali ini memang
menyuguhkan sebuah cerita cinta yang sarat akan kata-kata yang mampu menjelma
menjadi renungan bagi para pembacanya, membuat para pembacanya mengenal dan
memahami cerita cinta seperti apa yang telah ia miliki, maupun yang ia miliki
kelak. Sangat orisinal, serta menggelitik.
Mengenai latar cerita ini pun tak kalah menarik,
Tere-Liye mampu mendeskripsikan keindahan Kapuas dengan sederhana, namun terlihat
sangat megah. Kemegahan dari kesederhanaan yang dituangkan Tere-Liye dalam
tulisannya, menjadikan latar cerita ini sangat unik dan menarik. Tere-Liye juga
mengangkat hal-hal yang dianggap tabu atau dapat memicu konflik bila
diceritakan, menjadi hal yang menarik untuk diperhatikan dan diperbincangkan.
Seperti urutan antrian nomor 13, lalu konflik antara Indonesia-Malaysia, hingga
sekilas mengenai kehidupan Suku Dayak, dalam kisah cinta Bang Togar dan Kak
Unai. Semua dibahas secara sederhana namun tetap
menyentil. Seolah sindiran atas mitos sial pada angka 13, atau hubungan
Indonesia-Malaysia yang dianggap selalu buruk.
Singkat kata, novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah karya Tere-Liye ini, bercerita bagai cambuk.. Ketika hal-hal
klasik dan sederhana yang seringkali luput dan dilupakan, menjadi sentilan yang
luar biasa, bagi kita, para penghuni dunia, pelaku kehidupan.
Sangat
istimewa dan beda.
Resensi
dibuat oleh: Meranita Talentsa Ayu S
No comments:
Post a Comment