Renta (tak) menua, (masih)melesap anggun dalam pikir-pikir rapuh
tentang hari lalu itu
Sementara aku,
Berdiam hendak terhenti, menoleh, (masih) berharap, kira-kira
ia memanggil..
Lantas,
Kami tak berpapas, dalam sayup-sayup rintih selintas angin
kemarin sore,
"Kau masih di sana?", tanyamu
"Ya, aku masih di sini", jawabku
"Untuk apa?", tanyamu lagi
Aku terdiam
"Untuk apa?"
Aku terdiam.
Matanya memerah, jantungnya berdetak kencang.
Aku terdiam.
Matanya memerah, jantungnya berdetak kencang.
Aku terdiam.
Matanya memerah, jantungnya berdetak kencang.
5 tahun setelahnya,
Kuberikan selembar kertas dengan tulisan “(b) A P A (k) ?”
8 tahun setelahnya,
Kuselipkan selembar kertas dengan tulisan “ANAK (b) A P A
(k) ?”
10 tahun setelahnya,
Kukirimkan selembar kertas dengan tulisan “ A K U ?”
12 tahun setelahnya,
Kusimpan selembar kertas dengan tulisan “(s) (i) A P A ?”
Kamu masih di sana.
Mata memerah, jantung berdetak kencang.
Aku terdiam.
Kubuka luka itu perlahan, sedang dalam penantianku, kamu
terus berlalu sembari memberi cuka dalam sendi-sendi jiwa lukaku, yang belum
sempuh, tak jua sembuh.
Matamu memerah, jantungmu berdetak kencang, mungkin kamu
takut, mungkin kamu malu, mungkin kamu....... mungkin.
Aku terdiam,
Masih di sini, menunggu, berharap,
Walau lukaku tercuka, walau lukaku kian terbuka karenamu,
karena diammu.
Matamu memerah, kamu menangis.
-meranitalentsa23/01/12
No comments:
Post a Comment